Jika Bukan Teater Lantas Kenapa?
(Refleksi Teater di Masa Pandemi)
Pada tanggal 11 Desember 2020, Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (PenastrI) menyelenggarakan diskusi daring dengan tajuk “Kaleidoskop Teater 2020: Teater, Pandemi dan Digitalisasi.” Forum diskusi dalam platform zoom yang dihadiri lebih dari 100 pelaku teater dari banyak daerah di Indonesia dan 6 pemantik diskusi dari beberapa kota di Jawa, Flores Timur, Sulawesi, dan Bali ini merupakan upaya Penastri memaknai praktik teater yang berkembang di masa pandemi.
Forum ini juga merupakan sosialisasi kehadiran Penastri, yang baru terbentuk di bulan November 2020, sebagai wadah bagi seniman teater Indonesia untuk berhimpun melakukan kerja-kerja penguatan ekosistem teater yang lebih baik.
Tulisan ini adalah penekanan (highlight) penulis atas beberapa hal yang muncul dalam forum itu, sebagai salah satu tawaran pijakan refleksi atas dinamika teater yang berkembang di masa pandemi di tahun 2020.
Masih Teaterkah?
Forum yang dimoderatori Ibed S. Yuga (sutradara Kalanari Teater, Yogya) bergulir hangat kerika Silvester Hurit, salah seorang pemantik diskusi, melontarkan pertanyaan mengusik: “jika kata ‘teater’ dihilangkan pada istilah ‘teater film’ –yang disematkan pada karya teater yang direkam kamera dan mengadaptasi watak medium film, apakah penonton akan mengenali karya itu sebagai karya teater? Atau karya itu berubah menjadi karya film atau sinetron?”
Pertanyaan sutradara, penulis dan pegiat teater dari Flores Timur itu, sesungguhnya merepresentasikan kegundahan yang menghinggapi banyak pelaku teater dalam menyikapi gagasan digitalisasi teater dalam situasi pandemi ini.
Di satu sisi, sebagaimana yang disampaikan Silvester sendiri, digitalisasi teater –pembuatan karya teater yang direkam video digital lalu ditayangkan lewat layar ponsel atau komputer melalui jaringan internet, membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam produksi dan distribusi karya teater. Ini juga ditekankan pemantik diskusi yang lain, Faiza Mardjoeki (produser, penulis, dan penerjemah lakon dari Institut Ungu), sembari tak ragu menawarkan istilah ‘teater film’ untuk karya teater yang direkam kamera.
Lebih jauh Faiza menyampaikan bahwa jika dikerjakan dengan baik, dengan mempertimbangkan watak kamera dan hukum-hukum film lainnya, di samping membuka jelajah estetika baru dalam pembuatan karya, teater film juga bisa lebih mudah dibawa dan dipresentasikan ulang di lokasi yang berbeda-beda. Teater film juga bisa tetap dihadirkan sebagai sebuah peristiwa bersama dengan cara ditayangkan di hadapan penonton di dalam gedung pertunjukan, sebagaimana yang pernah ia saksikan beberapa kali di luar negeri.
Tetapi, di sisi lain, format produksi karya pertunjukan digital di ruang virtual ini membuat banyak pelaku teater merasa kehilangan liveness, kualitas yang diyakini merupakan esensi teater sebagai sebuah seni pertunjukan. Kualitas peristiwa yang istilahnya sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia itu terbentuk dari pertemuan fisik, pertukaran energi, dan relasi persepsional, juga fisikal, antara aktor dan penonton di ruang dan waktu yang sama. Beberapa orang menganggap kehilangan unsur itu membuat karya yang tercipta tak lagi bisa diebut sebagai teater. Pandangan ini, misalnya, disampaikan Eka Nusa Pertiwi, aktor teater dari Yogya pendiri asosiasi teater “Suasana”.
Kembali pada pertanyaan Silvester di atas, saya, yang berposisi sebagai penanggap dalam forum diskusi itu, lalu mengajukan pertanyaan yang saya jadikan judul tulisan ini: jika bukan teater lantas kenapa?
Atau formulasi pertanyaan yang lebih tepat adalah: jika bukan lagi teater yang itu, lantas kenapa?
Sebagai pelaku teater saya bisa menerima jika pertanyaan yang saya ajukan itu mengganggu atau bahkan menjengkelkan seniman teater lain yang hadir di forum tersebut, atau pembaca tulisan ini. Tetapi menurut saya pertanyaan itu, di dalam konteks dan alur diskusi seperti yang sedikit tergambar dalam tulisan ini, penting untuk diajukan.
Karena, dalam pergulatan seniman teater dengan apapun medium yang digunakan, baik tubuh dan ruang fisik dalam pertunjukan langsung maupun tubuh digital dan ruang virtual dalam pertunjukan daring, tidakkah keberhasilannya akan diukur oleh seberapa jauh agenda yang mendasari penciptaan karya tersebut bisa diwujudkan dan tersampaikan pada publik yang disasar?
Di samping agenda artistik –pergulatan seniman dengan mediumnya, kita tahu, dibalik penciptaan karya juga tersimpan agenda politik; tema atau kenyataan (individual maupun sosial) tertentu yang dirujuk, diolah, dan hendak disampaikan di dalam atau melalui karya.
Dengan pijakan itu, kalimat lebih lengkap dari pertanyaan yang (mungkin) mengganggu yang saya ajukan itu adalah: jika agenda penciptaan yang dimiliki si seniman berhasil diwujudkan dalam karya lalu tersampaikan pada publik dengan baik, meskipun mediumnya tak lagi teater live, lantas kenapa?
Setidaknya, dari sudut pandang komunikasi, bukankah karya teater yang dibuat dalam medium digital di ruang virtual itu juga bernilai dan membuka dialog yang berharga dengan penonton?
Kemungkinan yang Terbentang dan Jebakan Esensialisme
Sebagai seniman pertunjukan, tentu saja saya sadar bahwa ada makna dan pertukaran nilai yang hanya bisa dimunculkan oleh teater yang berlangsung sebagai sebuah peristiwa bersama dengan penonton, di ruang-waktu yang sama. Desah nafas, titik keringat, geliat tubuh serta energi aktor yang bisa disaksikan dan dirasakan langsung oleh penonton yang hadir di ruangan yang sama, sesungguhnya menciptakan makna tersendiri, yang khas, dan tak tergantikan ketika beralih wahana ke medium terekam.
Kemustahilan medapatkan kualitas peristiwa yang ‘hidup’, yang hanya bisa didapatkan dalam pertunjukan live itu, yang membuat banyak seniman teater menolak membuat karya dalam wahana digital dan disampaikan secara virtual. Penolakan yang sangat berdasar.
Tetapi, di sisi lain, saya melihat bisa ada jebakan esensialisme dalam posisi atau penolakan itu. Esensialime yang bisa membuat kita, seniman teater, jadi terkungkung di dalam satu gagasan atau estetika teater tertentu. Atau, setidaknya, membuat kita tak bisa melihat nilai yang ditawarkan dari percobaan-percobaan dialog, atau adaptasi, teater ke dalam medium digital-virtual yang muncul di masa pandemi ini.
Dalam sejarahnya teater selalu bergerak dinamis dan berdialog dengan kenyataan-kenyataan jamannya. Gerak dan dialog itulah yang membuat kita saat ini menjumpai banyak ragam gagasan dan estetika teater. Teater romantik, realisme, surealisme, teater absurd, teater epik, misalnya, terbentuk oleh pergulatan seniman teater dengan kenyataan dan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan dan masa hidupnya.
Keterbatasan pertemuan fisik di masa pandemi, yang membuka jalan migrasi ke medium digital dan ruang virtual, oleh beberapa seniman disikapi sebagai tantangan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan “baru”, atau, paling tidak, pendekatan dan pengucapan teater lain yang tak telihat sebelumnya.
Di samping yang telah terpapar di atas, kemungkinan lain itu terlihat dari pengalaman Elyda K. Rara bersama seniman-seniman Kamateatra Art Project dari Malang. Seturut Elyda, yang juga bekerja sebagai guru sekolah menengah di Malang di samping manajer Kamateatra, karya-karya teater digital bisa dibuat lebih ringkas, sehingga bisa segera diapresiasi dengan relatif lebih mudah oleh para pelajar didikannya. Para pelajar itu lalu diminta membuat tulisan atau rekaman video yang mengulas karya-karya Kamateatra. Di samping jelajah artistik, digitalisasi teater juga membuka kemungkinan lain untuk metode penumbuhan apresiasi teater.
Sementara paparan pengalaman Wayan Sumahardika, penulis dan sutradara Teater Kalangan dari Bali, dan Nurul Inayah, sutradara dan aktor Kala Teater dari Makassar, memperlihatkan bahwa pergulatan dengan medium digital dan media sosial di masa pandemi ini membuat seniman teater seperti dipaksa untuk memeriksa ulang beberapa hal fundamental dalam teater. Dalam proses perpindahan produksi teater dari ruang fisik ke ruang virtual itu, di samping pemahaman atas ‘ruang’ harus mereka lihat ulang, mereka juga mesti menimbang ulang perihal posisi serta angle penonton.
Ruang dan moda kepenontonan yang berbeda membuat mereka harus menemukan siasat-siasat baru dalam membuat dan menyajikan karya. Wayan Sumahardika lebih jauh menyampaikan perihal beragam platform media sosial dalam dunia internet yang masing-masing memiliki wataknya sendiri. Tiktok, misalnya, memiliki watak dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan Facebook, Instagram, atau platform video konferensi seperti zoom. Pilihan platform yang akan digunakan seniman teater, menghadirkan tantangan dramaturgis yang berbeda.
Menajamkan lontaran dua seniman muda dari Makassar dan Bali ini, seorang peserta forum, Rebecca Kezia, perancang program di Komunitas Salihara dan anggota komite teater Dewan Kesenian Jakarta, mengajukan pertanyaan ini: “mungkinkah kita perlu segara bergerak melihat digitalisasi bukan sekadar mengalihwahanakan pertunjukan teater tapi juga membuka diri untuk berpikir dengan logika ruang yang baru? Bagaimana kalau kita memandang ruang baru itu bukan cuma tempat presentasi karya saja tapi juga bagian dari kerja artistik itu sendiri?
Refleksi dan Proyeksi
Pertanyaan yang dilontarkan Rebecca itu cukup berharga untuk dipikirkan lebih lanjut. Terutama untuk seniman teater yang ingin menjelajahi lebih jauh perihal penciptaan teater di ruang digital-virtual.
Tetapi, senyampang dengan itu, resistensi atas digitalisasi teater yang disampaikan banyak seniman buat saya juga tetap penting. Apalagi ketika resistensi itu membuka jalan pada alternatif lain dalam penciptaan teater di masa pandemi, seperti yang terlihat dalam inisiatif komunitas Ikatan Teater Jakarta Utara (Itera).
Sejak beberapa bulan terakhir, komunitas Itera membuat program yang berisi serangkaian pementasan karya kecil (dengan 1 – 3 aktor), di hadapan penonton terbatas, dan diberlangsungkan di ruang kecil di tengah kampung Kemayoran. Inisiatif yang mereka namakan Gaung Akhir Pekan itu telah mereka berlangsungkan setiap akhir minggu, sejak akhir Oktober lalu.
Sebagai sebuah inisiatif, bahkan format yang ditawarkan Itera ini bisa membuka kemungkinan percobaan dan temuan-temuan estetika teater melampui konteks keterbatasan pertemuan fisik di masa pandemi. Untuk perbandingan sekilas, pada tahun 60-an, di Tokyo berkembang gerakan teater Shogekijo (teater ruang kecil-small space theatre) yang merupakan reaksi atas teater modern Jepang yang bergerak semakin komersial dengan panggung-panggung gigantik. Shogekijo kemudian menjadi gerakan yang melahirkan banyak karya dan seniman teater kontemporer Jepang terkemuka saat ini.
Barangkali karena situasi pandemi sudah berlangsung setidaknya lebih dari sembilan bulan di Indonesia, forum diskusi Penastri berhasil membentang spektrum yang cukup luas atas ragam bentuk dan nilai dari percobaan-percobaan teater yang muncul di masa pandemi.
Apapun ragam percobaan seniman teater untuk beradaptasi dengan situasi pandemi, satu hal berharga yang muncul adalah pergulatan itu seperti memaksa seniman melihat kembali dan, karenanya, menajamkan pemahaman prinsip-prinsip fundamental dalam estetika teater, seperti ‘ruang’ dan (moda) ‘kepenontonan’. Di sisi produktif yang lain, alih wahana ke media digital dan ruang virtual yang dilakukan seniman sesungguhnya tengah meluaskan pergaulan dan pembelajan seniman pada disiplin dan medium lain, yang pada gilirannya kemudian bisa memperkaya seniman ketika kembali membuat pertunjukan teater live.
Senada dengan refleksi ini, salah seorang peserta diskusi, Shohifur Ridho’I, sutradara dan pendiri Roka Teater Yogya, melontarkan amatannya bahwa apa yang berlangsung di dalam peristiwa teater di masa pandemi bukan hanya meluaskan medium dan distribusinya, tetapi juga tantangan untuk meluaskan level diskursifnya. Situasi transisi dalam masa pandemi ini memberi kita modal untuk mengkritisi dan meluaskan proyeksi atas teater ke depan nanti.
Yudi Ahmad Tajudin
Sutradara teater dan anggota Dewan Pengawas Penastri