Bagaimana Penonton “Hadir” dalam Teater Virtual?
Dunia virtual, yang terbuka lebar melalui jaringan internet, bukanlah ruang panggung yang kosong. Di dalamnya telah hadir masyarakat penonton—juga masyarakat kreator—dari berbagai macam platform media sosial. Ketika kita (kreator teater) hadir membawa teater ke ruang virtual melalui internet, bagaimana praktik dramaturgi kita dalam menghadapi masyarakat penonton yang telah hadir lebih dahulu di yang menawarkan berjibun karakter media sosial itu?
Pernyataan dan pertanyaan tersebut saya bahasakan ulang dari lontaran Wayan Sumahardika, sutradara Teater Kalangan, Bali, salah satu pembicara dalam diskusi Kaleidoskop Teater Indonesia 2020 bertajuk “Teater: Pandemi & Digitalisasi”, yang digelar Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri), 12 Desember lalu. Diskusi melalui plaform Zoom yang merupakan kegiatan publik pertama Penastri—setelah pembentukannya di bulan November—ini mencoba membaca fenomena digitalisasi teater pada masa pandemi, dengan menghadirkan enam pembicara dan satu penanggap serta diikuti oleh lebih dari 100 partisipan.
Paralelisme Panggung Virtual dengan Panggung Aktual?
Pernyataan Sumahardika di atas secara langsung mengidentifikasi dunia virtual sebagai ruang panggung. Lebih lanjut, ia mendefinisikan fenomena berduyun-duyunnya kreator teater mencipta teater melalui media digital—lalu mempresentasikannya di ruang virtual—di masa pandemi ini sebagai evakuasi para kreator dari panggung nyata (aktual) ke panggung virtual. Senada dengan ini, Nurul Inayah, aktor dan sutradara Kala Teater, Makassar, pembicara lainnya dalam forum ini, mendefinisikan fenomena ini sebagai “berpindah panggung”. Setidaknya, melalui lontaran kedua pembicara ini, kita bisa membaca suatu definisi bahwa ruang virtual adalah panggung yang barangkali paralel dengan panggung di dunia aktual, namun memiliki kenyataan dan logika yang berbeda. Perpindahan atau evakuasi dari satu panggung ke panggung lainnya inilah yang menjadi pusaran diskusi dan adu pendapat yang cukup panjang dalam forum ini—dan juga di luarnya di masa pendemi ini.
Pusaran diskusi tersebut salah satunya terjadi karena kegalauan (untuk tidak menyebutnya: kegagapan) para pegiat teater ketika menghadirkan teater ke hadapan penonton melalui dunia virtual tanpa kehadiran penonton secara aktual. Satu pihak menganggap absennya penonton secara faktual ini mengurangi atau bahkan menisbikan kehadiran teater sebagai sebuah peristiwa komunikasi timbal balik. Pihak yang lain, tanpa menolak anggapan pihak pertama, menganggap bahwa kehadiran teater virtual—selain menjadi sekadar siasat kreasi pada masa pandemi—bisa menjadi tantangan baru untuk memasuki wilayah jelajah baru dalam dunia kreasi teater; sehingga dengan demikian ia juga menawarkan suatu cara baru dalam melakukan keberhadapan dengan penonton. Dengan kata lain, penonton “hadir” dengan cara yang lain, yang tentu saja kualitasnya tidak bisa diukur dengan instrumen ukur kualitas kehadiran penonton di hadapan panggung teater dunia aktual.
Keluasan Jangkauan = Keluasan Makna Kehadiran?
Kita tahu bahwa kehadiran dalam pertunjukan teater langsung di dunia aktual adalah kekuatan utama teater. Pertunjukan dan penonton bersemuka sehingga pergumulan keduanya menciptakan energi utama peristiwa. Kedua belah pihak sadar, merasakan, dan mengalami keberhadapan antara manusia dengan manusia dalam platform peristiwa pertunjukan. Hal inilah yang—misalnya—membuat Silvester Petara Hurit, pegiat teater dari Flores, pembicara lain dalam forum ini, menganggap bahwa teater virtual bukanlah teater karena tidak bisa dibedakan dengan film atau sinetron. Eka Nusa Pratiwi, pegiat teater dari Yogyakarta, yang juga pembicara dalam forum ini, bahkan menolak untuk berkarya dalam ruang virtual.
Menanggapi hal ini, Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi, Yogyakarta, selaku penanggap dalam forum ini, memunculkan wacana untuk melampaui pusaran diskusi tentang setuju atau tidaknya para kreator (dan penonton) teater dengan keberadaan teater virtual. Dengan masih sangat mengamini besarnya energi sosial dan artistik yang muncul dari kehadiran dan keberhadapan teater dengan penonton secara langsung, Yudi meyakini bahwa teater virtual menawarkan keluasan cara para kreator teater dalam menemui penontonnya. Selain itu, keluasan jangkaun teater di ruang virtual memungkinkan keterserapan oleh penonton yang lebih banyak. Setidaknya, dari sisi kemungkinan, Yudi mencoba menghadirkan bayangan bahwa teater virtual bisa diakses oleh 196,7 juta pengguna internet di Indonesia—walaupun hal ini masih dalam kerangka probabilitas.
Tentang keluasan jangkauan penonton ini, seorang peserta diskusi melihat bahwa teater virtual bisa masuk ke ruang privasi penonton karena ia bisa ditonton dari ruang tidur atau bahkan kamar mandi penonton yang—katakanlah—merupakan ruang paling privat dari penonton. Namun, benarkah demikian? Ketika kita berbicara soal privasi, ada batas-batas yang jelas yang melindungi ruang privat dari ruang publik di luarnya. Benarkah demikian? Bisa jadi benar jika kita melihatnya dari sisi keteraksesan, bahwa penonton bisa mengaksesnya teater virtual dari ruang privatnya. Namun, jika kita selisik dari sisi ruang privat secara konseptual, teater virtual tidak masuk ke dalam ruang privat penonton karena tidak ada elemen publik masuk secara aktual ke dalamnya sehingga tidak ada ancaman bagi keamanan ruang privat itu. Tidak ada batas perlindungan ruang privat yang ditembus oleh konten teater virtual karena pada kenyataan aktualnya, teater itu hanya hadir melalui perangkat keras yang jadi bagian dari ruang privat penonton.
Soal keluasan jangkauan penonton dalam ranah teater virtual yang melampaui batas-batas ruang fisik ini juga diamini oleh Silvester dan Faiza Mardzoeki, pembicara lain forum ini yang adalah penulis lakon dan sutradara Institut Ungu, Yogyakarta/Jakarta. Faiza, yang menyebut karya teater virtualnya sebagai teater film, memaparkan bahwa keunggulan teater virtual adalah ia bisa ditonton lebih lama dan diulang berkali-kali. Pernyataan Faiza ini menyiratkan bahwa teater virtual bisa replay dengan kualitas yang ajek—sebagaimana film—oleh penonton yang sama; dan proses sekian kali replay itu mungkin saja menghadirkan pengalaman kepenontonan yang berbeda karena lingkungan dan emosi penonton yang sama bisa saja berubah dalam waktu yang berbeda.
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa penonton “tidak hadir” saat proses penciptaan karya teater virtual, sebuah proses yang dari sisi kreator adalah paralel dengan proses pementasan di atas panggung. Namun demikian, dari sisi penonton, kehadiran teater virtual ke hadapannya dibarengi dengan “kehadiran” si penonton itu sendiri. Perangkat virtual, bagaimanapun teknisnya ia, menyajikan layar yang bisa saja diparalelkan dengan dinding keempat yang tembus pandang dalam panggung teater aktual.
Dalam teater aktual, penonton hadir, bertemu satu sama lain, dan bisa saling sapa serta bersentuhan. Dalam teater virtual—misalnya—melalui beberapa plaform media sosial, segi saling sapa dilayani melalui fitur chat, sehingga peristiwa bukan hanya terjadi dalam sajian teater, namun juga terjadi di ruang fitur chat. Contoh fitur ini, selain masih menyajikan sisi sosialisasi antarpenonton, juga bisa menjadi peristiwa di lapis yang lain dari sebuah peristiwa teater virtual. Di ruang dan waktu aktual penonton ketika menonton teater virtual, tentu saja ia menghadirkan dirinya tidak sebagaimana ia menghadirkan dirinya di depan panggung aktual. Sebagaimana diungkapkan Yudi, saat menonton teater virtual, penonton dihadapkan dengan multilayer kenyataan virtual dan aktual. Ia bisa menonton teater virtual sambil melakukan aktivitas lain, baik aktivitas dunia maya maupun dunia nyata. Tidakkah multilayer aktivitas kepenontonan ini juga bisa dibaca sebagai sebuah peristiwa yang menawarkan keluasan makna kehadiran dalam menonton teater (virtual)?
Bagaimana Memetakan Penonton Teater Virtual?
Dari sisi kreator, kehadiran penonton dalam teater virtual barangkali bisa disebuat sebagai kehadiran yang tertunda. Karena tertunda, maka ketika proses perekaman karya, kreator membayangkan kehadiran penonton melalui kehadiran alat rekam di hadapan peristiwa yang diadegankan. Dalam forum diskusi ini, setidaknya ada dua pembicara—Silvester dan Nurul—yang secara langsung mengungkapkan bahwa mereka merancang pertunjukan teater virtualnya dengan menganggap mata kamera sebagai mata penonton. Yudi agak menolak anggapan ini karena sulit baginya untuk menerima kamera sebagai representasi penonton karena pergerakan kamera itu dikuasai oleh si kreator. Pernyataan Yudi ini bisa kita baca sebagai argumen bahwa dalam teater virtual seorang kreator bisa menyetir penonton jika si kreator menganggap kamera sebagai mata penonton sehingga sisi demokratis penonton dihegemoni oleh kreator.
Tentang permasalahan ini, jika membandingkannya dengan film, saya tidak tahu segi kepenontonan semacam apa yang dipertimbangkan kreator film ketika memutuskan untuk menggunakan angle kamera tertentu dalam mengambil sebuah adegan. Apakah segi bagaimana penonton nanti melihatnya, atau bagaimana penonton mempersonifikasi dan mengidentifikasi dirinya, atau bagaimana cara penonton “masuk” ke dalam adegan? Saya tidak tahu. Tetapi setidaknya, dari pengalaman saya menonton film (yang tidak terlalu kerap), angle kamera terutama berurusan dengan bagaimana saya menyaksikan adegan atau peristiwa. Sedangkan, dalam teater virtual, kasusnya menjadi lain karena yang dipermasalahkan adalah bagaimana kehadiran penonton melalui kamera yang merekam (kamera yang menonton?) adegan. Kamera bukan hanya dianggap sebagai peranti yang berurusan dengan cara melihat, namun dibebani—atau diharapkan bisa mengakomodasi—konsep dan makna kehadiran penonton.
Jika cara pandang tersebut benar, atau setidaknya diyakini oleh sebagian pegiat teater virtual, maka “hadir” sebagai sebuah cita-cita pertunjukan teater (langsung) tetap melekat kuat dalam skema produksi teater virtual. Kita tentu mafhum dengan hal ini sebab, dalam teater virtual, kamera (dan perekam suara) adalah satu-satunya peranti penangkap peristiwa; sedangkan dalam pertunjukan langsung, tubuh penontonlah entitas penangkap peristiwa itu. Lalu, bisakah kamera dipersonifikasi sebagai sebuah entitas tubuh penonton yang kompleks itu, yang setidaknya memiliki lima indra untuk menangkap suatu peristiwa?
Bagi saya, bukan jawaban dari pertanyaan itu yang penting di sini, melainkan kondisi menarik di mana kreator teater masih mencita-citakan energi kehadiran penonton dalam karya teaternya yang telah dimediai oleh perangkat digital dan kemudian ditangkap kehadirannya melalui perangkat layar oleh penonton. Energi kehadiran itu, spirit dari liveness itu, tetap ingin direngkuh karena anggapan bahwa itulah energi utama teater sebagai peristiwa komunikasi. Anggapan inilah yang juga menjadi alasan sebagian kreator teater memilih untuk tidak berkarya melalui platform teater virtual.
Di sisi lain, Yudi melihat pilihan untuk berkarya atau tidak dalam platform teater virtual berkaitan erat dengan agenda si kreator sendiri. Haruslah ada agenda tertentu, baik artistik maupun politik, yang mendasari karya seorang kreator teater, baik dalam ranah virtual maupun aktual. Agenda ini kemudian akan terproyeksikan ke dalam strategi berhadapan dengan penonton. Dalam teater virtual, agenda ini mestinya bisa dijadikan pijakan untuk membayangkan penonton macam apa yang disasar karya yang diciptakan sehingga kreator bisa memetakan rimba raya internet dan bisa melabuhkan karyanya pada sasaran penonton yang tepat. Identifikasi penonton semacam ini bisa pula bekerja timbal balik dengan strategi penciptaan karya.
Dalam kasus di atas, apa yang dilakukan oleh Elyda K. Rara, direktur Kamateatra Art Project, Malang, salah satu pembicara dalam forum diskusi ini, bisa dijadikan sebagai contoh yang menarik bagi strategi penciptaan karya teater virtual yang telah merumuskan calon penontonnya secara khusus. Elida, yang juga seorang guru SMA, menyajikan karya-karya teater virtualnya melalui platform Youtube, kemudian mengajak para siswanya untuk menonton dan membuat ulasan dari pengalaman kepenontonan mereka dalam bentuk tulisan maupun video. Selain sebagai sebuah strategi yang cukup matang dalam memetakan penonton, apa yang dijalankan oleh Elida juga bergerak lebih jauh ke wilayah literasi dan edukasi penonton. Bukan mustahil gerakan semacam ini akan menciptakan penonton-penonton dengan karakter kritis-intelek terhadap teater. Strategi semacam ini juga melampaui pilihan untuk berkarya atau tidak dalam dunia teater virtual karena ia bisa diterapkan juga dalam dunia teater aktual.
Ibed S. Yuga
Sutradara teater, anggota pengurus Penastri