Eksis sebagai Penonton Daring “Pararatoning Luh”: Sebuah Dramatic Reading
Pertama-tama, proficiat buat Kelompok Pojok (ka’e- ka’e pemain dan sutradara). Penulisnya pasti senang karena karena naskah sudah diinterpretasi dan dimainkan. Tulisan ini hanya semacam curhat alias sharing pengalaman pribadi saya menonton pembacaan dramatik.
Menjadi Penonton Daring
Menonton pertunjukan senantiasa jadi peristiwa yang baik untuk menikmati dan belajar teater. Ada angin segar yang bisa jadi dampak positif dari tiga tahunan pandemi covid-19 melanda Indonesia. Ruang- ruang kepenontonan lebih terbuka juga mudah diakses secara online.
Memang masih banyak pelaku teater dan seni pertunjukan yang belum selesai berdebat dan berdiskusi perihal itu. Sebut saja, bagaimana menyoal kepenontonan dalam ruang pertunjukan daring. Apa beda seni media film/video dengan teater dalam medium tersebut? Dan masih banyak hal lagi yang dipersoalkan.
Perjumpaan dengan Kelompok Pojok beberapa waktu lalu, membuka jejaring sekaligus memberi kesempatan untuk menonton salah satunya dramatic reading berjudul Pararatoning Luh ini. Bagi saya, sejak awal, penggarapan pembacaan dramatic ini secara sengaja coba membikin pertimbangan dramaturgis dengan mengupayakan terjadinya kesadaran konsep pertunjukan online sebagaimana telah disinggung sebelum. Upaya-upaya tersebut dipertimbangkan dengan ukuran yang pas dan tidak terlampau lebai sehingga saya tak mudah terjebak dalam dilema serta bias-bias antara seni media film dan seni teater dalam ruang online. Saya amat mengapresiasi upaya sadar media pertunjukan tersebut. Semoga penampakaan riil ini jadi semacam kodefikasi atas wacana intermedialitas yang tengah berkembang dalam skena seni pertunjukan (teater).
Saat pertunjukan akan segera mulai, saya sedang tercebur ke dalam diskusi bersama beberapa kawan di sebuah hotel, di Makassar. Untung saja, saya sempatkan diri mengecek handphone lalu memastikan jadwal. Dengan sedikit terburu-buru, saya berusaha memisahkan diri dari dialog itu, berlarian kecil mencari tempat yang pas untuk masuk ke zoom meeting sembari berjuang membangun mood kepenontonan. Rupanya, susah sekali mendapatkan ruang menonton yang nyaman di sana karena kegaduhan terjadi di seluruh ruangan bahkan di halam depan hotel. Ada distraksi oleh suara home-band, langkah kaki, tawa-canda orang-orang di resto-hotel. Di ruang- ruang lain juga ada begitu banyak orang lalu-lalang. Akhirnya, saya memilih untuk menonton dari tempat parkir. Agak tenang meski satu-dua kendaraan kerap keluar masuk dengan berbagai level kebisingannya.
Pengalaman ini membenturkan dua hal sekaligus. Pertama, campur tangan arus teknologi dalam teater (pertunjukan daring) akhirnya membuka akses ruang pertunjukan yang jauh sekaligus memberikan kebebasan lebih kepada penonton untuk menciptakan ruang pertunjukannya sendiri. Di lain sisi, ruang itu bisa jadi sangat dekat bahkan cenderung mudah terdistrak oleh ruang-ruang pertunjukan lain di sekitar penonton. Muncul pertanyaan ketika saya duduk dan mulai mengakses link zoom: apakah saya kurang berusaha menjadi penonton, menyiapkan diri termasuk tempat, merapihkan jadwal dan lain sebagainya? Ataukah memang demikian dampak pertunjukan online, memudahkan orang-orang seperti saya untuk kurang sadar kepenontonan? Adakah strategi yang secara sadar atau sengaja bisa dikenakan untuk penonton dalam hal ini?
Di bagian awal, saya sudah langsung kehilangan pertunjukan karena kendala teknis audio. Sempat berpikir, ada kerusakan pada headset, ternyata beberapa penonton mengeluhkan hal serupa di chat room. Setelah berusaha membesarkan volume audio, saya berpaya-paya masuk lebih dalam ke pertunjukan. Sayang sekali, hal ini terjadi, sebab bagi saya awalan adalah bagian yang sangat penting. Semacam pintu masuk ke dalam sebuah pertunjukan. Sehingga, saya bisa katakan ini kurang menarik.
Sepanjang pertunjukan saya tertegun oleh sinematografi yang dipakai. Unsur ini medukung pembentukan nuansa pada cerita. Meskipun begitu, saya berupaya mengakrabi teknik bridging yang dipakai dari babak ke babak. Rasa-rasanya, beberapa pertunjukan ini cukup terpisah sehingga masing-masing babak bisa berdiri sendiri.
Saya kurang puas dengan teknik membaca yang dipakai narator dan beberapa pembaca. Barangkali hal ini hanya soal betapa kurang akrabnya teknik tersebut di telinga. Saya tidak begitu menikmatinya. Ditambah lagi, dalam proses kreatifnya, tampak kuat sekali upaya sutradara agar para pembaca lebih dalam lagi membangun lakon. Tentu saja, model seperti ini tidak berlebihan jika disebut cukup dekonstruktif: membongkar kebiasaan umum sajian pembacaan dramatic. Maksud demikian lantas menimbulkan kesan dominasi unsur lakon lain ketimbang membaca teks/naskah. Seakan para pemain sudah menghafal naskah dan lebih focus melakon. Pertanyaan berikut yang muncul, apa bedanya membaca naskah lakon dan melakoni naskah? Ataukah memang hal demikian tidak perlu dibeda-bedakan begitu?
Menyaksikan Lukisan Eksistensi
”Aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas.”
( Jean Paul Sartre)
Kebanyakan penonton mengenakan kaca mata feminisme ketika menyaksikan pertunjukan ini. Hal ini terkonfirmasi ketika sesi diskusi. Saya malah tidak melihat itu sebagai unsur utama yang hendak disajikankan. Sebagaimana pengantar yang diutarakan oleh host, “Pararatoning Luh” karya Dyah Ayu Setyorini dibacakan Kelompok Pojok, bercerita tentang kelindan kisah seorang perempuan dalam relasinya dengan dua orang laki-laki. Dengan meminjam silang kisah percintaan Arok Dedes, Pararatoning Luh adalah upaya mengalurkan kembali cerita manusia- manusia yang berjuang memahami jati dirinya dalam tarikan nafas eksistensialis. Hal ini terbentang dari babak ke babak walaupun pengetahuan saya soal kisah Arok Dedes hanya sebatas pelajaran sejarah yang didongengkan guru-guru di masa SD dan SMP dulu.
Sepanjang pertunjukan, saya dipandu untuk melihat bagaimana dilema manusia di tengah nuansa hitam-putih hidupnya. Dalam dialog-dialog, para tokoh mempertanyakan dirinya di tengah diri yang lain. Masing-masing tokoh hadir dan sibuk berpikir tentang dirinya sendiri. Mereka mempertanyakan makna kebebasan diri sekaligus menyadari bahwa batasan kebebasan itu adalah kebebasan orang lain. Batasan itulah yang kerap disebut sebagai tanggung jawab. Bila manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan berarti ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, melainkan juga terhadap seluruh manusia. Dalam eksistensialisme, sebut saja pandangan Sartre, manusia yang sadar adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan.
Dengan mengurai simbol yang melekat pada masing-masing subjek laku, yakni: Luhiyang, Kartaka dan Jataka, mencoba mengukuhkan kembali kebenaran yang mereka yakini pada setiap jalan hidup yang mereka pilih. Kembali bercermin pada pendapat Sartre tentang
eksistensi manusia, bukan sekedar hendak menjelaskan situasi keberadaan manusia di tengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu Sartre hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh semua manusia sebagai manusia. Sebab eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia, yang semakin hari semakin menampakkan eksistensi modern. Dari konsep ini muncullah ciri hakikat keberadaan manusia. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia. Seseorang bertindak sendiri tanpa bantuan orang lain saat memutuskan. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia.
Tokoh Luhiyang, Kartaka dan Jataka menempatkan wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Pada saat memilih seseorang cenderung dilanda rasa takut tetapi juga berani
dan gembira karena ia boleh bertanggung jawab. Hal ini terbersit dalam babak terakhir ketika Vagina, Teratai dan Setan berkisah tentang diri dalam lukisan.
Pertunjukan ini berpotensi memicu penonton untuk merenungi hakikat diri dan identitas. Siapakh dirinya? Apa yang membuatnya menjadi begitu unik? Sebab sesungguhnya prinsip utama kebahagiaan adalah mengetahui diri sendiri lalu belajar untuk menerima apa adanya ia. Ketika kenal diri seseorang bisa memetakan kekuatan sekaligus kelemahan diri sendiri. Selanjutnya, dengan mengetahui siapa dirinya, identitas diri tidak akan terpengaruh oleh label yang dipakaikan orang lain. Manusia dalam kesehariannya, hidup dalam suatu konstruksi buatannya sendiri, manusia membuat aturan, hukuman, konvensi, dan lain-lain. Dengan ini sesuatu diberi nama, diberi tujuan. Dalam keadaan seperti itu semestinya manusia dapat menjalankan eksistensinya serta bertanggung jawab atas dirinya dan realitas disekitarnya.
(Marto Rian Lesit/Penikmat Teater)