EVOKASI #1 SENI dan HAM
SENI DAN HAK ASASI MANUSIA:
Memahami wacana hak kebebasan berekspresi seni melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Ketika berbicara mengenai advokasi seni, maka persoalan mengenai hak asasi manusia selalu ada di sana. Alasannya adalah karena kebebasan berkesenian dapat dilakukan dengan aman bila ada perlindungan terhadap hak asasi manusia, di mana seniman merupakan salah satu bagian di dalamnya. Di antara ragam hak asasi manusia yang terkait dengan itu adalah hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas kebudayaan.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah sebuah pernyataan umum hak asasi manusia yang disusun oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diratifikasi pada tanggal 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris (Perancis). Pernyataan umum tersebut terdiri dari 30 pasal yang berisikan garis besar pandangan Majelis Umum PBB mengenai prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia, di antaranya adalah: hak untuk hidup, menyampaikan pendapat, kebebasan beragama, berkumpul dan berserikat, mendapatkan jaminan sosial, turut serta dalam gerakan kebudayaan, menikmati kesenian juga berkontribusi dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Di Indonesia, pada era Orde Baru, teater modern memilih wacana perlawanan untuk merespon represi pemerintah terhadap pikiran kritis masyarakat dan kontrol ketat terhadap media massa. Pegiat teater mendekati mahasiswa, aktivis dan kelompok sosial lain yang tidak sepakat dengan kebijakan itu. Sebagian dari mereka bekerja dengan petani dan pekerja urban. Perlawanan terhadap ideologi negara ditampilkan di panggung dengan cara halus dan menggunakan simbol-simbol kontrol tradisional. Beberapa kasus pelanggaran terhadap hak kebebasan berkesenian yang diketahui adalah penahanan WS. Rendra (1978), pelarangan pentas Teater Koma saat membawakan naskah “Suksesi” (1991) dan pencekalan terhadap kelompok teater Satu Merah Panggung saat akan mementaskan naskah “Marsinah Menggugat” karya Ratna Sarumpaet (1997). Di sepanjang tahun 2010-2020 juga tercatat ada beberapa kasus pelarangan terhadap kerja kreatif pegiat teater. Untuk menghadapi permasalahan seperti itu, maka diperlukan pemahaman terhadap advokasi kebijakan untuk menjaga agar hak untuk berekspresi seni tidak mendapatkan represi serta pengekangan.
Studi advokasi kebijakan seni #1 akan membahas wacana tersebut bersama dua orang narasumber dari wilayah disiplin kerja yang berbeda. Narasumber yang akan hadir pada sesi pertama ini adalah: Hafez Gumay (koordinator bidang advokasi kebijakan Koalisi Seni Indonesia) dan Naomi Srikandi (sutradara teater). Kedua pembicara diharapkan memberikan pandangannya seputar wacana hak kebebasan berekspresi seni ditilik dari gagasan yang terdapat pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.