Teaterisu #2
April 2021
Feminisme dan Teater di Indonesia
Pada sebuah masa keemasan teater Indonesia, pada rentang 1968–1988, tidak ada satu pun nama pegiat teater perempuan yang tercatat. Pada masa yang oleh Jakob Sumardjo disebut sebagai “zaman emas kedua teater Indonesia” ini setidaknya dipentaskan 102 lakon Indonesia, dan tak satu pun di antaranya ditulis oleh perempuan. Teater Indonesia di masa tersebut ditampilkan tanpa sudut pandang perempuan. Kondisi ini masih berlanjut hingga masa bubarnya Orde Baru. Setelahnya, barulah suara perempuan mulai terdengar di atas panggung teater Indonesia: mulanya samar, kian jelas, lalu memekik.
Pekik tersebut terdengar dalam dua makna: (1) jeritan atas kuasa panjang lelaki terhadap panggung teater; (2) teriakan gugatan terhadap kuasa itu, tuntutan akan proses kreasi yang setara di atas panggung teater Indonesia. Pekikan para pegiat teater perempuan Indonesia ini menjadi penanda yang jelas bagi gerakan teater berperspektif feminis di Indonesia, yang bergerak dinamis, walau di sana-sini masih bertemu dengan berbagai sandungan akibat maskulinitas yang telah terlalu mengakar di panggung teater Indonesia, bahkan semenjak di ruang-ruang kebudayaan tradisi.
Kemunculan dan keberlanjutan berbagai gerakan atau karya teater berperspektif feminis di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan gerakan feminisme di Indonesia. Kedua ruang ini sering kita lihat menjalin kebersamaan guna menggugah kesetaraan gender di ruang besar bernama Indonesia yang dianggap terlalu maskulin. Sebagaimana Indonesia, panggung teater Indonesia juga bukanlah panggung yang bebas nilai. Ia juga lahir dari berbagai sistem dan hegemoni yang muncul dari ruang yang dianggap terlalu maskulin itu. Dengan demikian, kehadiran teater dengan perspektif feminis menjadi strategi perempuan untuk hadir di panggung teater Indonesia yang maskulin itu.
Bagaimana gerakan feminisme menjalin ‘kekerabatan’ dengan seni di Indonesia? Bagaimana gerakan feminisme dan teater Indonesia saling menenun ide dan berjejaring dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia? Sejauh mana kadar maskulinitas panggung teater Indonesia? Seperti apa estetika teater Indonesia yang terlalu maskulin menindas hak perempuan di panggung teater? Bagaimana para pegiat teater perempuan di Indonesia mewujudkan ide-ide feminisme dalam karya dan wacana teater sehingga menciptakan “estetika teater feminis Indonesia”?